Di sebuah rumah sederhana di Samarinda, hidup seorang anak yang tak pernah malu dengan profesi ayahnya sebagai sopir angkot.
Anak itu adalah Ismail Latisi.
Bagi sebagian orang, lahir dari keluarga kelas pekerja bisa menjadi beban.
Namun bagi Ismail, justru itu menjadi “bahan bakar” baginya.
Ayahnya, La Tisi, tidak mewariskan harta atau usaha besar, tapi menanamkan visi besar: anak-anaknya harus sekolah setinggi mungkin. Sementara sang ibu, Hamidah, adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi tiang keteguhan keluarga.
“Bapak saya selalu bilang, anak-anaknya tidak boleh mengulang nasib yang sama seperti dirinya,” kenang Ismail.
Pria kelahiran Samarinda 40 tahun silam ini memiliki darah Buton.
Namun, ia merasa identitasnya terpatri di tanah kelahirannya.
“Kalau saya ke Buton, saya bukan pulang kampung. Saya hanya mampir ke tempat orang tua. Karena saya lahir, besar, dan merasa asli Samarinda,” ujarnya sambil tersenyum.
Sejak kecil, Ismail dikenal tekun belajar.
Sang ayah sejak awal sudah bertanya, “Mau jadi apa nanti?” dan tanpa ragu, Ismail menjawab ingin menjadi guru agama.
Jawaban itu bukan main-main, ia pegang teguh hingga remaja.
Maka selepas SD, ia melanjutkan ke MTSN Model dan MAN 2 Samarinda, tetap dengan tujuan yang sama: menjadi guru.
Namun, takdir membelokkan arah.
Nilai Bahasa Inggris Ismail terus menonjol selama di MAN, hingga akhirnya ia diterima di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mulawarman pada 2003 lewat jalur prestasi Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD).
“Saya selalu ranking satu atau dua, nggak pernah tiga. Alhamdulillah dapat jalur undangan,” katanya bangga.
Bertahan di Tengah Keterbatasan
Di tengah kuliah, ia sudah bekerja.
Sejak usia 17 tahun, Ismail menjadi tenaga honorer di Dinas Kebersihan Pasar (sekarang DLH Kota Samarinda).
Ia menyapu jalan sejak subuh saat masih kelas dua SMA.
“Saya nggak pernah malu. Rezeki halal dan saya bisa bantu orang tua,” ujarnya.
Pekerjaan itu ia jalani hingga 2005, sebelum mengikuti KKN di Tarakan.
Tahun 2006, sebelum lulus kuliah, Ismail melamar menjadi guru agama di SMK Al-Khairiyah meski latar belakang kuliahnya di Bahasa Inggris.
Berbekal ijazah MTS dan MAN, ia diterima.
“Mereka tahu saya belum lulus, tapi karena saya dari pendidikan agama, saya diberi kesempatan,” ujarnya.
Selanjutnya, ia mengajar di dua sekolah: pagi di SMP YPS, sore di SMK Al-Khairiyah.
Setelah keluar dari YPS, ia mengajar di MTS Sulaiman Yasin.
Dua pekerjaan ia jalani karena tuntutan ekonomi, bukan pilihan.
“Gaji guru honorer sangat minim. Tapi saya tetap bertahan.”
Membangun Sekolah
Tahun 2016, babak baru dimulai.
Ia diajak membangun SMA Granada Samarinda yang saat itu masih baru berdiri.
Ismail dipercaya menjadi Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan dan Kurikulum, merangkap dua jabatan karena jumlah siswa yang masih sedikit.
Selain mengajar di sekolah, ia juga menjadi dosen malam di STIMIK SPB Airlangga dan STIESAM.
Bahkan, sempat menjadi pengajar kegiatan ekstrakurikuler di Balai Rehabilitasi Narkoba Tanah Merah.
“Saya ngajar malam demi tambahan penghasilan. Karena saya punya istri dan anak-anak yang harus dinafkahi,” katanya.
Di Granada, ia merasa berada di rumah.
Ia ikut membangun budaya sekolah, menyusun kurikulum, membimbing siswa, dan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Menapaki Jalur Politik
Tahun 2018, Ismail dipercaya menjadi Sekretaris DPD PKS Kota Samarinda.
Lalu pada 2024, partai memintanya maju sebagai calon anggota legislatif dari Dapil 1 Samarinda (Kota, Ilir, dan Sambutan).
“Saya sampaikan ke istri dan orang tua, ini bukan karena ambisi pribadi, tapi karena amanah partai. Bismillah.”
Ia mengajukan cuti dari SMA Granada, bukan mengundurkan diri.
“Saya ingin kembali jika masa jabatan berakhir. Saya merasa ikut membesarkan sekolah ini.”
Ismail bukan orang baru di PKS.
Ia menjadi kader sejak tahun 2000, bahkan ketika partai masih bernama Partai Keadilan.
Ia aktif dalam pendidikan kader, aksi sosial, dan kegiatan dakwah.
“Di PKS, kami diajarkan bahwa jabatan bukan soal ambisi, tapi kesiapan menerima amanah.”
Suara Guru di Parlemen
Kini, Ismail duduk sebagai anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda.
Ia fokus pada isu pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, isu yang dekat dengan hidupnya.
“Dulu saya hanya bisa menerima keputusan dari dinas. Sekarang saya bisa ikut menentukan arah kebijakan. Ini amanah besar.”
Meski sibuk, ia tetap hadir di sekolah, terutama untuk mengisi materi P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
Jiwa gurunya tak pernah pudar.
Moto hidupnya sederhana, tapi kuat: “Menebar kebaikan tidak membutuhkan alasan.”
“Kami diajarkan untuk berbuat baik bukan karena sorotan, tapi karena tanggung jawab. Ridho Allah adalah tujuan kami.”
Keluarga dan Pengabdian
Ismail menikah dengan Dahlia.
Mereka dikaruniai tiga anak: Faqih Hafizhoul Furqan, Hanif Hafizhoul Huda, dan Rayugan Hafizhurrohman.
“Keluarga adalah pendorong terbesar saya. Istri saya juga kader partai dan memahami perjuangan ini.”
Di luar tugas politik dan pendidikan, Ismail aktif di berbagai organisasi sejak muda: Ketua OSIS, Sekretaris MPK, Ketua Lembaga Dakwah Kampus, Ketua Forum Desain & Seni FKIP Unmul, dan kini memimpin Yayasan Baitul Qur’an Foundation serta Rumah Qur’an Aulia.
Ia juga anggota Korps Dai IKADI Samarinda.
Prestasinya tak sedikit: juara Lomba Cerdas Cermat tingkat Kota Samarinda, peserta MTQ Mahasiswa Nasional, hingga juara Cerdas Cermat Guru Agama Islam BAZDA.
Dari anak sopir angkot, penyapu jalanan, hingga anggota dewan, kisah Ismail Latisi adalah bukti bahwa asal-usul bukanlah batas.
Justru, itu adalah pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Pendidikan, kerja keras, dan pengabdian telah membawanya menjadi suara rakyat, dan teladan bagi banyak orang.

