SAMARINDA: Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyebut satu-satunya sektor yang diamanatkan dalam UUD sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN atau ABPD hanyalah pendidikan.
“20 persen itu sekurang-kurangnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan,” kata Hetifah.
Hal itu ia katakan saat menjadi narasumber podcast “Kabar Tuntas” di lantai 2 Studio Podcast MSI Group Jalan Untung Suropati, Samarinda, Sabtu (29/6/2024).
Ia menuturkan, masalah UKT menjadi catatan supaya politik anggaran pendidikan menjadi lebih berpihak kepada setiap anak Indonesia yang ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
“Kami sedang membentuk panitia kerja pembiayaan pendidikan untuk memeriksa kembali uang yang ada dipakainya berapa banyak, beasiswa yang disediakan dan yang membutuhkan harus ada konsekuensi budget anggaran disiapkan,” tuturnya.
Legislator Fraksi Golkar itu pun menekankan pentingnya transparansi sebab jika tidak bisa menjadi sumber penyalahgunaan.
“Mulai beli seragam harus wajib dan tidak jelas keuntungannya buat apa. Mungkin orang tua lebih ingin ada keterbukaan, kalau bisa seragam tidak wajib beli di satu tempat,” tegasnya.
Selain itu, partisipasi masyarakat sebenarnya juga penting terlepas dari kesan pendidikan gratis tidak dipungut biaya apapun. Hanya sifatnya harus sukarela dan transparan.
Ia pun menegaskan tidak cukup pendidikan seseorang hanya sampai di jenjang sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) untuk menjadikan sumber daya manusia (SDM) unggul atau berdaya saing.
“Zaman kan berubah, kalau sekarang lulus SD/SMP bisa tidak mendapat pekerjaan layak karena misal harus professional dan terampil,” ujarnya.
Ia menjelaskan, hak pendidikan setiap anak Indonesia harus ditingkatkan yang awalnya 9 tahun menjadi 12 tahun bahkan sampai perguruan tinggi.
“Misal D3 atau vokasi, tak harus S2 yang penting mendapatkan cukup keterampilan untuk meningkatkan harkat dan martabat,” jelasnya.
Menurutnya, penting bagi pemerintah memberikan perhatian tak hanya ke sekolah atau perguruan tinggi (PT) negeri tetapi juga swasta.
“Walaupun swasta, jangan dianggap komersil kemudian pemerintah lepas tangan karena swasta itu partisipasi dari masyarakat yang ingin menyediakan lapangan pendidkan bagi mereka yang tidak bisa terserap oleh sekolah atau PT negeri,” ucapnya.
Ia menambahkan, jangan sampai sekolah swasta ekstrem yakni ada yang sangat bagus tapi sangat mahal ataupun sangat buruk.
“Harusnya swasta tidak boleh terlalu jauh dari negeri, jadi pemerintah sebenarnya juga boleh bantu swasta,” pesannya.(*)

