
KUKAR: Di tengah geliat pembangunan dan modernisasi yang terus merambat hingga ke pelosok desa, masyarakat Desa Ponoragan di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, tetap memegang teguh tradisi warisan leluhur.
Salah satu yang terus dilestarikan adalah sedekah bumi atau bersih desa, sebuah upacara adat yang sarat nilai spiritual dan sosial.
Rabu, 28 Mei 2025 lalu, tradisi ini kembali digelar secara khidmat bersamaan dengan momentum penting lainnya: peletakan batu pertama pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di desa tersebut.
Dua agenda berbeda ini justru menyatu dalam satu semangat: membangun masa depan dengan tidak melupakan akar budaya.
Kepala Desa Ponoragan, Sarmin, menjelaskan bahwa sedekah bumi merupakan agenda rutin tahunan yang tak pernah absen dari kalender budaya desa. Bagi warga, ini bukan sekadar seremoni, melainkan bentuk nyata rasa syukur atas beragam karunia yang telah diberikan Sang Pencipta.
“Sedekah bumi merupakan acara tahunan kami di Desa Ponoragan, sebagai bentuk rasa syukur warga kami atas kenikmatan Tuhan yang diberikan,” ujar Sarmin.
Ia menekankan bahwa rasa syukur itu mencakup berbagai hal, mulai dari keberhasilan dalam usaha, kesehatan yang terus terjaga, hingga kekayaan sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup masyarakat. Dengan kata lain, upacara ini menjadi semacam ikrar bersama warga desa atas limpahan rezeki yang tak ternilai.
“Terutama kenikmatan usaha, kenikmatan sehat dan kenikmatan sumber daya alam yang ada di Desa Ponoragan,” tambahnya.
Namun di balik ritual yang sarat nilai spiritual itu, Sarmin menggarisbawahi pentingnya peran generasi muda dalam menjaga kesinambungan tradisi. Ia menyadari, adat istiadat tak akan memiliki masa depan bila tidak mendapat ruang hidup di hati kaum muda.
“Kalau generasi muda ini peduli maka tradisi atau budaya ini akan berlanjut terus, tapi kalau generasi mudanya tidak mau melestarikan mungkin tradisi ini tidak akan berjalan terus,” kata Sarmin.
Pernyataan itu menjadi semacam pengingat kolektif. Di tengah arus globalisasi yang sering menggusur kebudayaan lokal, keberlangsungan sebuah tradisi memang sangat tergantung pada kesadaran dan kemauan generasi penerus. Bagi Desa Ponoragan, pelestarian budaya bukan sekadar kebanggaan, tetapi juga perlawanan terhadap hilangnya identitas.
Lebih jauh, Sarmin menjelaskan bahwa sedekah bumi bukanlah upacara kosong tanpa makna. Di dalamnya terkandung nilai spiritual yang kuat, yakni pengakuan manusia akan keterbatasannya, dan rasa syukur yang mendalam terhadap kekuatan yang lebih tinggi.
Dalam konteks masyarakat agraris seperti Ponoragan, penghormatan terhadap hasil bumi menjadi simbol pengakuan terhadap alam dan Sang Pencipta yang mengatur segalanya.
“Sedekah bumi atau bersih desa sebagai upacara adat yang memiliki makna spiritual dibaliknya, yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat serta rezeki dari hasil bumi,” tuturnya.
Karena itu pula, ia menegaskan bahwa tradisi ini akan terus dirawat, tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sebagai fondasi nilai yang menyatukan masyarakat desa di tengah berbagai dinamika zaman.
“Maka untuk itu tradisi adat warisan leluhur ini tetap dilestarikan di Desa Ponoragan,” pungkas Sarmin. (Adv)

