
SAMARINDA: Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Sarkowi V Zahry, menilai lemahnya sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian menjadi salah satu hambatan utama dalam pencapaian target swasembada pangan.
Minimnya dukungan fasilitas, harga komoditas yang tidak stabil, hingga lemahnya peran penyuluh pertanian dinilai membuat banyak petani di daerah mengalami frustrasi.
“Jangan sampai di sektor pertanian itu para petani sampai pada posisi frustrasi. Itu bisa jadi,” kata Sarkowi saat diwawancarai di Gedung D DPRD Kaltim, Rabu, 28 Mei 2025.
Sarkowi mengungkapkan bahwa masalah klasik seperti harga jual komoditas yang jatuh, biaya sewa alat yang mahal, serta keterbatasan alat pertanian modern masih menjadi beban berat petani.
Di saat yang sama, peran penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang semestinya menjadi pendamping petani, justru sering tidak hadir di lapangan.
“Mereka mau berkonsultasi soal prospek hasil pertanian saja susah. PPL-nya tidak aktif. Ini jelas menghambat,” ujarnya.
Politisi Partai Golkar ini juga menyoroti ancaman serius terkait krisis regenerasi petani.
Menurutnya, sektor pertanian saat ini didominasi oleh petani usia lanjut, sementara generasi muda enggan terjun ke dunia pertanian karena tidak melihat masa depan yang menjanjikan.
“Jangan sampai nanti yang terjun di pertanian hanya mereka yang sudah usia lanjut, dan tidak ada penerusnya. Anak-anak muda sekarang banyak yang tidak mau lagi ke sawah. Ini berbahaya untuk ketahanan pangan kita ke depan,” tegas Sarkowi.
Meski wacana swasembada pangan sudah lama digaungkan, Sarkowi mengakui bahwa Kaltim dan Indonesia secara umum masih bergantung pada pasokan pangan dari luar, baik antarprovinsi maupun impor.
Komoditas pokok seperti beras dan telur masih belum bisa dipenuhi secara mandiri.
“Kita belum swasembada. Beras, telur, dan kebutuhan pokok lainnya masih dipasok dari luar provinsi. Ini harus jadi perhatian serius,” katanya.
Ancaman alih fungsi lahan pertanian menjadi tambang atau kebun sawit juga disoroti sebagai faktor penghambat swasembada pangan.
Menurut Sarkowi, banyak petani tergoda menjual lahan karena tawaran investasi jangka pendek tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap kedaulatan pangan.
“Godaan-godaan untuk penambangan, sawit, dan lainnya sering sekali membuat petani mengambil jalan pintas untuk menjual lahan. Ini harus diingatkan terus,” katanya.
Sebagai langkah konkret, Sarkowi mendesak pemerintah untuk melakukan pendataan dan perhitungan kebutuhan riil lahan pertanian produktif.
Ia menilai perlu ada rencana jelas untuk pencetakan sawah baru, termasuk kalkulasi antara lahan eksisting dan target lahan yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada.
“Kalau lahan yang eksisting sekian, dan kebutuhan untuk swasembada sekian, berarti kurang berapa? Kapan kita melakukan pencetakan sawah? Di mana lokasinya? Itu semua harus direncanakan,” pungkasnya.

