
SAMARINDA: Ketua DPRD Kalimantan Timur Hasanuddin Mas’ud menyoroti keberadaan pabrik kelapa sawit PT Hamparan Khatulistiwa Indah (HKI) di Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat (Kubar) yang menuai penolakan warga.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa, 12 Agustus 2025, Hasanuddin Mas’ud mengungkap dugaan ketidaklengkapan izin dan potensi pelanggaran aturan yang dilakukan perusahaan.
Hasanuddin menjelaskan, terdapat empat organisasi masyarakat (ormas) mewakili masyarakat yang menyampaikan keberatan terhadap keberadaan pabrik tersebut.
Salah satu kekhawatiran utama adalah keterbatasan kapasitas air Sungai Bongan yang digunakan masyarakat setempat, sementara dalam radius kurang dari satu kilometer terdapat dua pabrik yaitu PT Berlian Nusantara Persaka (BNP) dan PT HKI yang sama-sama membutuhkan pasokan air besar untuk beroperasi.
“Perizinan PT HKI memang belum lengkap sehingga belum bisa beroperasi. Yang lebih parah, pabrik ini berdiri tapi tandan buah segarnya (TBS) tidak ada. Kebunnya saja tidak punya, dari mana bahan bakunya?” tegas Hasanuddin.
Ia menilai kondisi ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 35 yang mewajibkan setiap perusahaan pengolahan hasil perkebunan memiliki kebun sebagai sumber bahan baku.
PT HKI diketahui tidak memiliki kebun sendiri dan berencana mengandalkan kemitraan dengan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan TBS.
Hasanuddin juga menegaskan, jika ditemukan pelanggaran, perusahaan bisa dikenakan sanksi administratif hingga pidana, termasuk penyegelan.
“Kalau tidak memenuhi syarat, bisa dikenakan denda administratif atau bahkan pidana karena melanggar,” ujarnya.
Meski demikian, PT HKI disebut telah mengantongi surat persetujuan beroperasi di luar kawasan industri dari Kementerian Perindustrian, masing-masing untuk industri minyak mentah inti kelapa sawit (CPKO) dan minyak mentah kelapa sawit (CPO), dengan nomor 2724/SKPBKI/PWI/XI/2024 dan 2725/SKPBKI/PWI/XI/2024. Persetujuan tersebut merujuk pada Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri.
Namun, menurut Hasanuddin, perusahaan belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan persyaratan penting sebelum beroperasi.
“Pabrik ini dibangun tiga tahun, baru mau izin. Nanti saya akan tanya DLH apakah dokumennya sudah lengkap atau belum. Kalau tidak, bisa disegel,” tegasnya.
DPRD Kaltim merencanakan kunjungan lapangan dalam waktu dekat melalui gabungan komisi untuk melihat langsung kondisi di lokasi.
“Kita mau cepat, makanya gabungan komisi saja. Kalau pansus, itu perlu waktu dan harus diparipurnakan lagi,” tambah Hasanuddin.

