SAMARINDA: Meski Kalimantan Timur (Kaltim) menyumbang lebih dari separuh produksi batu bara nasional, nilai Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dari sektor tambang dinilai masih jauh dari ideal.
Realisasi PPM rata-rata hanya Rp400 miliar per tahun, setara Rp1.000 per ton batu bara yang diproduksi.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Bambang Arwanto, menyebut angka tersebut terlalu kecil jika dibandingkan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Menurutnya, PPM semestinya bisa ditingkatkan secara signifikan.
“Dengan produksi batu bara Kaltim 350–400 juta ton per tahun, Rp1.000 per ton itu terlalu kecil untuk menjawab tagline Menteri ESDM: tambang mensejahterakan masyarakat. Kalau dinaikkan Rp10.000 per ton, kita bisa dapat Rp3,7 triliun. Itu baru rasional,” ujarnya, Senin, 25 Agustus 2025.
Data Dinas ESDM Kaltim mencatat, produksi batu bara provinsi ini sepanjang 2024 mencapai 436,7 juta ton, atau 52,1 persen dari total produksi nasional 836 juta ton.
Nilai kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kaltim tahun lalu mencapai Rp329,46 triliun.
Bambang menjelaskan, PPM berbeda dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
CSR diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, sifatnya dilakukan setelah perusahaan berproduksi.
Sementara PPM bersifat wajib sejak tahap awal.
“PPM itu mandatory. Kalau perusahaan tidak melaksanakan, maka izin Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tidak akan dikeluarkan. Bahkan saat mereka mengajukan tambahan produksi, kontribusi PPM juga harus ditambah,” jelasnya.
Ia menegaskan, PPM harus disusun dengan konsultasi berjenjang mulai dari desa ring 1, ring 2 di tingkat kecamatan, hingga ring 3 di kabupaten.
Setelah itu disetujui pemerintah provinsi dan direkomendasikan ke pusat.
“Kalau tidak jalan, izin produksi bisa ditahan. Jadi harus betul-betul dipantau,” tegasnya.
Menurut Bambang, salah satu persoalan terbesar PPM selama ini adalah tumpang tindih dengan program pemerintah daerah.
Banyak perusahaan melaksanakan pembinaan UMKM atau pembangunan infrastruktur yang sejatinya sudah dijalankan pemerintah.
“Akibatnya terjadi rebutan ruang publik, anggaran jadi tidak efektif. PPM harus diintegrasikan dengan baik, selaras dengan program Gratispol dan Jospol agar benar-benar memberi manfaat nyata,” katanya.
Pemprov Kaltim saat ini tengah menyusun rencana induk (blue print) PPM.
Dokumen tersebut akan memuat delapan sektor prioritas, antara lain infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.
“Blue print ini juga akan mengatur sinergi perusahaan dengan pemerintah. Apalagi DBH (Dana Bagi Hasil) tahun depan dipotong 50 persen, otomatis kita geser sebagian beban pembangunan ke sektor swasta. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, ruang publik harus dibagi,” ungkap Bambang.

