SAMARINDA: Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyebut satu kebijakan tidak pernah bisa menguntungkan semua orang.
Pasti ada yang lebih diuntungkan dan lebih dirugikan, termasuk kebijakan penerapan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
“Tapi yang kita inginkan adalah kebijakan yang memberikan kemaslahatan banyak dan kemudharatan sedikit sesuai situasi,” kata Hetifah.
Hal itu ia katakan saat menjadi narasumber podcast Kabar Tuntas di lantai 2 Studio Podcast MSI Group Jalan Untung Suropati, Samarinda, Sabtu (29/6/2024).
Ia menerangkan, sistem PPDB di Indonesia sebelum tahun 2017 sangat fokus pada prestasi sebagai kriteria yang menentukan seseorang itu diterima di suatu jenjang pendidikan.
“Setelah 2017 kita menggunakan pola berbeda dengan mempertimbangkan jarak ke sekolah sebagai kriteria penting, lebih penting dari prestasi,” sebutnya.
Ia mengatakan, apakah kebijakan dengan memprioritaskan zonasi lebih buruk atau lebih baik ini perlu dievaluasi secara periodik.
Menurutnya, setiap kebijakan bisa berubah sesuai perkembangan situasi dan kebijakan penerimaan siswa baru ini belum sempurna, masih perlu dievaluasi secara menyeluruh.
“Bahkan udah dari 2017 kita harus lebih serius lagi mempertahankan atau pembenahan yang serius, jadi tidak tambal sulam,” tegasnya.
Hetifah mengaku, kebijakan sistem zonasi sebenernya bertujuan baik yakni memperhatikan kedekatan jarak dari tempat tinggal siswa ke sekolah.
“Dari sisi mobilitas mencegah biaya tinggi, jadi banyak keuntungan dari sistem zonasi tapi ada prasyaratnya apa sudah terpenuhi atau tidak. Jika tidak, bisa jadi zonasi memberi dampak negatif besar,” tuturnya.
Legislator Fraksi Golkar itu menceritakan, berdasarkan pengalaman dirinya saat bersekolah di luar negeri bertahun-tahun setiap setiap orang tua tidak pernah memikirkan anaknya untuk sekolah di lokasi yang jauh.
“Otomatis anak dicarikan sekolah terdekat, sehingga anak bisa jalan kaki atau naik sepeda. Orang tua tidak perlu mengantar anak karena cukup aman,” jelasnya.
Ia tidak menginginkan adanya diskriminasi wilayah seperti yang selama ini terjadi di kota-kota besar di Indonesia yakni terbaginya antara daerah kumuh dan daerah elit.
“Akhirnya ketimpangan sosial itu tadinya wilayah jadi ketimpangan pendidikan juga malah double,” ucapnya.
Ia menyadari, PPDB sistem zonasi memang dalam pelaksanaannya banyak kelemahan dan saat ini sudah ada perbaikan kebijakan atau penyesuaian.
“Kalau dulu seingat saya 2017 lebih dari 90 persen fokus zonasi, lama kelamaan prestasi ditambah dan zonasi jadi 50 persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, mengevaluasi sesuatu juga harus berhari-hati dan memerlukan kajian yang bisa dipertanggungjawabkan data-datanya. Bukan berdasarkan suatu keluhan sebagian kecil orang yang bisa saja tidak seimbang.
“Mohon umpan balik jika ada hal-hal yang harus diperbaiki untuk kemajuan pendidikan Kaltim dan Indonesia,” pungkasnya.(*)

