JAKARTA: Di tengah dinamika ekonomi dan meningkatnya volatilitas pasar keuangan global, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa sektor jasa keuangan Indonesia tetap stabil dan terjaga.
Ketidakpastian global pada April 2025 meningkat, terutama akibat rencana Amerika Serikat untuk mengenakan tarif impor resiprokal.
Meski Presiden Donald Trump telah mengumumkan penundaan kebijakan tersebut selama 90 hari, tensi perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok tetap tinggi.
Ketegangan ini berdampak pada naiknya volatilitas pasar global.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Komisioner Bulanan yang digelar pada 30 April 2025.
Menurut Mahendra, ketidakpastian yang tinggi ini telah mendorong berbagai lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global.
IMF, misalnya, merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 2,8 persen.
Angka ini jauh di bawah rerata historis selama periode 2000–2019 yang mencapai 3,7 persen.
Sementara itu, WTO memperkirakan volume perdagangan barang global akan mengalami kontraksi sebesar 0,2 persen pada 2025, setelah sebelumnya diprediksi tumbuh 2,7 persen.
Meski tekanan eksternal tinggi, ekonomi Indonesia tetap menunjukkan ketahanan. Pada triwulan I 2025, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 4,87 persen.
Pertumbuhan ini didorong terutama oleh konsumsi rumah tangga yang masih kuat.
Inflasi juga terjaga dengan baik. Inflasi umum (headline) pada April 2025 tercatat sebesar 1,95 persen secara tahunan (yoy), sedangkan inflasi inti berada di angka 2,50 persen yoy.
Kedua indikator ini mencerminkan permintaan domestik yang cukup stabil.
Selain itu, indikator-indikator seperti penjualan ritel, konsumsi semen, dan penjualan kendaraan bermotor mengindikasikan pemulihan ekonomi yang masih berlanjut, meskipun dengan kecepatan yang moderat.
Dari sisi produksi, perekonomian juga menunjukkan performa yang solid. Hal ini tercermin dari berlanjutnya surplus neraca perdagangan serta rilis laporan keuangan emiten yang menunjukkan perbaikan kinerja pada tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.
Mahendra menambahkan, meskipun sisi permintaan belum sepenuhnya pulih, terdapat sinyal positif melalui kenaikan inflasi inti dan peningkatan penjualan ritel.

