SAMARINDA: Aksi unjuk rasa ribuan mahasiswa dan masyarakat di DPRD Kaltim pada Senin, 1 September 2025, bukan hanya menyisakan dinamika politik, tetapi juga berkah ekonomi bagi sebagian warga.
Ridho (23), penjual kopi keliling asal Banjarmasin, Kalimatan Selatan (Kalsel), yang kini tinggal di Jalan Adam Malik, Samarinda, mencatat penjualan hingga dua kali lipat dibanding hari biasanya.
Menurut Ridho, dagangannya ludes terjual sebelum pukul 15.00 Wita.
Padahal, pada hari-hari biasa ia berjualan hingga malam.
“Kemarin mangkal di DPRD jualan cuma sampai jam 3 sudah laku semua. Biasanya paling cepat habis jam 6 malam. Sekitar lebih dari 200 cup kopi terjual, biasanya hanya seratusan lebih sedikit,” ungkapnya saat diwawancarai di tempat ia mangkal belakang Masjid Islamic Center, Selasa, 2 September 2025.
Dari hasil penjualan itu, ia memperkirakan omzet mencapai lebih dari Rp2 juta, naik signifikan dibanding hari normal yang hanya sekitar Rp1 juta.
Semua varian kopi yang dijajakan habis, bahkan ia sempat menambah stok karena tingginya permintaan.
Meski demikian, Ridho menegaskan bahwa usahanya bukan milik pribadi.
Ia bekerja dengan sistem gaji pokok Rp2 juta per bulan, ditambah bonus harian dan bulanan.
Jika ditotal, penghasilan yang ia terima bisa mencapai Rp3,8 juta per bulan, setara UMP Kaltim, bahkan lebih saat musim ramai.
“Kalau musim hujan biasanya penjualan menurun. Tapi selama konsisten jaga pelayanan dan rasa, Alhamdulillah sekarang malah lebih ramai meski penjual kopi keliling makin banyak,” katanya.
Ridho mengaku sudah delapan bulan berjualan kopi keliling di Samarinda, dengan lokasi mangkal utama di belakang Islamic Center.
Dalam sehari normal, ia bisa menjual 100-120 cup hingga malam.
Namun, ia juga kerap menghadapi kendala.
“Sering ditertibkan Satpol PP, sehari bisa sampai tiga kali. Payung dagangan sudah lima kali lebih disita. Tapi mau bagaimana lagi, ini penghasilan satu-satunya. Ramainya di sini, jadi tetap bertahan,” jelasnya.
Meski awalnya sempat merasa gengsi karena sebelumnya pernah bekerja sebagai admin ekspedisi hingga sopir, Ridho kini mulai menikmati pekerjaannya.
“Zaman sekarang jangan gengsi berjualan. Kalau gengsi, sama saja dengan nggak makan. Lama-lama jadi enjoy, banyak teman juga,” tuturnya sambil tersenyum.
Ia mengungkapkan suka duka berjualan, mulai dari kepanasan, kehujanan hingga payung rusak saat hujan badai.
“Yang paling berat ya kalau ditertibkan Satpol PP. Kadang harus lari sambil dorong rombong,” ucapnya.
Saat ini, rombong tempat ia berjualan diperkirakan bernilai Rp16 juta, termasuk modifikasi sepeda listrik untuk mobilitas.
Ke depan, Ridho bercita-cita memiliki rombong sendiri agar bisa lebih mandiri.
“Masih berusaha, insyaAllah masih panjang perjalanannya,” katanya.
Kisah Ridho menjadi potret kecil dinamika ekonomi di balik aksi massa.
Bagi sebagian warga, momen demonstrasi bukan hanya ruang penyampaian aspirasi, tetapi juga kesempatan mengais rezeki.

