JAKARTA: PT Indonesia Airlines Holding belum terverifikasi dalam sistem Online Single Submission (OSS) maupun Sistem Informasi Perizinan Terpadu Angkutan Udara (SIPTAU).
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi oleh perusahaan tersebut.
Meskipun perusahaan telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) serta Sertifikat Standar untuk layanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan Tidak Berjadwal, keberadaan sertifikat tersebut belum dapat dijadikan dasar hukum untuk menyelenggarakan layanan penerbangan.
Hal ini ditegaskan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Lukman F. Laisa, pada Senin, 21 Juli 2025, terkait informasi mengenai rencana pengoperasian Indonesia Airlines di bawah naungan Indonesia Airlines Holding.
Menurut Lukman, PT Indonesia Airlines Holding belum dapat menjalankan layanan penerbangan karena Sertifikat Standar yang mereka miliki masih berstatus belum terverifikasi.
Hal ini disebabkan perusahaan belum menyampaikan dokumen Rencana Usaha, yang merupakan salah satu persyaratan teknis utama dalam proses verifikasi sertifikat tersebut.
“Dengan demikian, keberadaan sertifikat saat ini belum dapat dijadikan dasar hukum untuk menyelenggarakan layanan angkutan udara,” jelas Lukman.
Ia menegaskan bahwa proses verifikasi merupakan tahapan krusial dalam sistem perizinan usaha angkutan udara.
“Status belum terverifikasi berarti prosesnya belum selesai. Belum ada kepastian operasional hingga seluruh tahapan dipenuhi sesuai dengan ketentuan,” tambahnya.
Ketentuan mengenai pendirian usaha angkutan udara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 yang telah diperbarui melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025.
Berdasarkan regulasi tersebut, setiap badan usaha wajib memiliki dua dokumen utama, Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar.
Namun kedua dokumen ini hanya berlaku secara sah jika seluruh persyaratan telah diverifikasi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Sebagai bagian dari proses verifikasi, badan usaha wajib menyerahkan Rencana Usaha Jangka Menengah selama lima tahun ke depan melalui sistem SIPTAU, yang terintegrasi dengan OSS.
Rencana usaha ini harus mencakup: rencana kepemilikan atau penguasaan pesawat, daerah operasi dan rute penerbangan, kebutuhan sumber daya manusia, kapasitas keuangan dan aspek pendukung lainnya.
Bagi pemohon izin angkutan udara niaga berjadwal, mereka wajib memiliki minimal satu pesawat dan menguasai dua pesawat lainnya.
Jika mengajukan izin untuk dua jenis usaha (berjadwal dan tidak berjadwal), maka jumlah pesawat harus disesuaikan dengan cakupan layanannya.
Setelah seluruh dokumen dinyatakan lengkap dan diverifikasi, status Sertifikat Standar akan berubah menjadi terverifikasi. Barulah perusahaan bisa mengajukan proses sertifikasi Air Operator Certificate (AOC), yang meliputi: pra-permohonan, permohonan resmi, evaluasi dokumen teknis, inspeksi lapangan dan demonstrasi operasional.
Setelah AOC diterbitkan, maskapai dapat mengajukan permohonan rute penerbangan dan menyerahkan standar pelayanan penumpang sesuai dengan ketentuan dalam:
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 35 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 30 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal
Dengan demikian, proses perizinan usaha angkutan udara tidak semata-mata administratif, tetapi juga menjadi bagian dari sistem pengawasan keselamatan dan kesiapan operasional maskapai.
Kementerian Perhubungan juga menegaskan bahwa publikasi informasi yang menyatakan Indonesia Airlines telah beroperasi adalah tidak benar dan dapat menyesatkan masyarakat.
“Hingga saat ini belum ada pengajuan perizinan yang berlaku atas nama PT Indonesia Airlines Holding kepada Kemenhub,” tegas Lukman.
Ia menekankan bahwa informasi tersebut merupakan kondisi faktual yang harus diluruskan. Saat ini belum terdapat pijakan administratif yang dapat diverifikasi secara sah oleh regulator.
Meski demikian, Kemenhub tetap membuka ruang dan mendukung inisiatif pendirian maskapai baru, selama seluruh proses dilakukan secara tertib, transparan, dan sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Kami terbuka terhadap inisiatif pendirian maskapai baru. Tapi prosesnya harus dilalui dengan benar dan transparan. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menciptakan iklim investasi yang sehat di sektor penerbangan,” tutup Dirjen Lukman.

