SAMARINDA: Distributor utama beras di Samarinda, Nasir, mengingatkan potensi kelangkaan beras di Kalimantan Timur (Kaltim) jika tuduhan beras oplosan terhadap pedagang dan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang dinilai tidak realistis terus berlanjut.
Pasalnya, 90 persen kebutuhan beras di Kaltim bergantung pada pasokan dari luar daerah, terutama Sulawesi dan Jawa.
Menurut Ketua Asosiasi Pedagang Beras Kaltim, H Muhammad Nasir, maraknya penangkapan pedagang dengan tuduhan mengoplos beras perlu dikaji ulang.
Ia menilai kadar broken (beras pecah) di atas 15 persen yang ditemukan pada beras premium tidak selalu hasil oplosan, melainkan dapat terjadi akibat keterbatasan teknologi penggilingan di pabrik.
“Tidak semua mesin penggiling bisa menghasilkan broken di bawah 15 persen. Jadi, tidak otomatis beras dengan broken 15,7 persen itu oplosan,” kata Nasir, Senin, 11 Agustus 2025.
Selain itu, ia menilai HET beras premium di Kaltim yang ditetapkan Rp15.400 per kilogram tidak sebanding dengan biaya distribusi.
Dari Sulawesi ke Kaltim, biaya transportasi mencapai Rp700 per kilogram, ditambah ongkos dari gudang ke toko sebesar Rp50-100 per kilogram.
Padahal, HET di Sulawesi sebagai produsen beras premium hanya Rp14.900.
“Ada selisih Rp500, tapi ongkos angkutnya saja sudah Rp750–800. Bagaimana pedagang bisa menjual sesuai HET?” ujarnya.
Ketua Fokus Kaltim itu, menjelaskan, produksi beras lokal Kaltim hanya mampu memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan.
Sisanya, 70-80 persen pasokan berasal dari Sulawesi dan 10-15 persen dari Jawa.
Ia khawatir jika pedagang memilih berhenti berjualan karena takut kriminalisasi atau rugi akibat HET, masyarakat akan kesulitan mendapatkan beras.
Ia mendorong penyelesaian masalah melalui dialog antara pedagang beras dan Satgas Pangan, bukan penangkapan massal.
Menurutnya, pemetaan masalah dan pencarian solusi bersama akan lebih efektif menjaga pasokan sekaligus melindungi konsumen.
“Kalau ada yang sengaja mengoplos, itu kecurangan yang memang harus ditertibkan. Tapi jangan semua beras yang ada broken-nya dianggap oplosan. Kalau ini terus terjadi, stok beras di Kaltim bisa terganggu,” tegasnya.
Kasus dugaan beras oplosan di Kaltim mencuat setelah Polda Kaltim menetapkan seorang pedagang berinisial H.MA di Balikpapan sebagai tersangka karena menjual beras dengan mutu tidak sesuai label.
Polisi mengamankan 800 karung beras, termasuk dua karung yang telah dibeli konsumen dan dilaporkan tidak layak konsumsi.

