SAMARINDA: Bawaslu Kota Samarinda menggelar kegiatan Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilihan Umum bersama mitra kerja di Hotel Harris, Senin, 25 Agustus 2025.
Forum bertajuk Evaluasi dan Penyerapan Aspirasi Penyelenggaraan Pengawasan Pemilu dan Pemilihan itu dihadiri Wakil Wali Kota Samarinda Saefuddin Zuhri, perwakilan KPU Kota Samarinda, sejumlah instansi terkait, tokoh masyarakat, serta aktivis demokrasi.
Ketua Bawaslu Kota Samarinda, Abdul Muin, menyebut kegiatan ini merupakan bagian dari upaya memperkokoh pilar demokrasi melalui penguatan kelembagaan pengawas pemilu.
Menurutnya, pengawasan yang efektif hanya dapat terwujud dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas.
“Kita tahu bahwa dengan sumber daya manusia yang handal tentu kualitas pengawasan kita bisa lebih baik dan secara otomatis akan memperkuat dan memperkokoh demokrasi kita,” ujar Abdul Muin dalam sambutannya.
Ia menegaskan, langkah ini sejalan dengan arah pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029.
Diskusi dalam forum tersebut menghadirkan sejumlah narasumber dengan beragam perspektif.
Yogo Pamungkas, Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, memaparkan evaluasi terhadap indeks kepatuhan etik penyelenggara pemilu.
Ia menyebut kinerja Indeks Kepatuhan Etik Penyelenggara Pemilu (IKEPP) 2024 secara nasional memang tergolong patuh, tetapi nilainya mendekati ambang batas kategori cukup patuh.
“Hal ini menunjukkan kecenderungan masih belum aman,” kata Yogo.
Ia menyoroti lemahnya penanganan pengaduan yang berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
Selain itu, Yogo mengingatkan soal netralitas aparatur sipil negara (ASN) yang kerap menjadi sorotan publik.
“Berdasarkan evaluasi, masih ada indikasi ketidaknetralan oknum penyelenggara ad hoc dan ASN ikut kampanye. Dampaknya menurunkan kepercayaan publik dan memicu sengketa,” ujarnya.
Ia mendorong penguatan kode etik, pengawasan melekat, serta penerapan sanksi tegas bagi pelanggar.
Sementara itu, Abdulloh dari Bawaslu RI menekankan pentingnya pengawasan partisipatif berbasis masyarakat.
Ia menilai pelibatan publik dapat menutup celah terjadinya pelanggaran, sekaligus memperkuat legitimasi hasil pemilu.
“Ini memastikan kedaulatan ada di tangan rakyat dan hasil pemilu mencerminkan pemilihan yang sebenarnya,” kata Abdulloh, mantan Ketua Bawaslu Jawa Barat.
Ia memaparkan catatan Bawaslu terkait berbagai pelanggaran pemilu, mulai dari pelanggaran administratif sebanyak 465 kasus, pelanggaran kode etik 510 kasus, pelanggaran pidana 245 kasus, hingga pelanggaran hukum lainnya sebanyak 279 kasus.
Menurut Abdulloh, modus yang kerap muncul meliputi politik uang, ketidaknetralan ASN, mobilisasi sumber daya pemerintah, penyalahgunaan media sosial dan isu SARA, serta pelanggaran administratif yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif.
Ia juga mengungkapkan tantangan lain seperti keterbatasan sumber daya pengawas dan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Kegiatan ini ditutup dengan penekanan bahwa pengawasan pemilu bukan semata tugas Bawaslu, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa.
Para narasumber sepakat bahwa perbaikan berkelanjutan dalam aspek kelembagaan, integritas, dan partisipasi publik menjadi kunci mewujudkan pemilu yang berintegritas menjelang 2029.

