JAKARTA : Kilas balik akhir tahun 2022,Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI) menyoroti tiga peristiwa hukum yang menonjol selama tahun 2022. Diantaranya kasus Ferdy Sambo, Roy Suryo dan UU KUHP.
Sebagai contoh bahwa tiga peristiwa hukum tersebut disorot publik, salah satunya adalah PWI Pusat yang bahkan menggelar diskusi publik menyoroti disahkannya UU KUHP oleh DPR pada 6 Desember 2022.
Dalam diskusi publik yang digelar pada Kamis, 29 Desember 2022, DPP KAI menyoroti disahkannya KUHP. yang jadi polemik di masyarakat.
Hadir sebagai narasumber antara lain Prof Bagir Manan (mantan ketua Mahkamah Agung RI dan mantan ketua Dewan Pers), Atal S Depari (Ketua Umum PWI Pusat), Wina Armada Sukardi (Pakar Hukum Pers dan Advokat),Al Araf (Dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM).
Dari pendapat keempat narasumber tersebut dapat disimpulkan, KUHP yang disahkan tersebut bermasalah, lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan yang berpotensi terjadi kesewenang-wenangan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.
Berdasarkan hal itu, pihak pemerintah dan penegak hukum terkait, perlu segera mensosialisasikan aturan tersebut.
“Jika ternyata nanti penerapan KUHP tersebut banyak terjadi pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan terhadap kebebasan masyarakat dalam berpendapat, maka KUHP tersebut harus di revisi,”kata Erman Umar, Presiden Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI).
Di satu sisi, pemerintah terlihat membungkam kritik dari pihak yang berseberangan dan masih menggunakan pendekatan yang disinyalir kriminalisasi terhadap si pengkritik.
Sementara dalam diskusi tersebut, DPP KAI, organisasi profesi pengacara atau advokat, memperhatikan dan mencatat beberapa peristiwa hukum yang menonjol dan menarik perhatian publik pada 2022 ini.
Pertama disahkannya UU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang baru disahkan oleh DPR RI pada tanggal 6 Desember 2022.
Disahkannya UU KUHP tersebut menuai kontroversi, karena UU tersebut dianggap membelenggu Hak Asasi Manusia (HAM), hak-hak masyarakat dalam berpendapat di negara Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi.
Padahal perjuangan untuk mengganti KUHP peninggalan kolonial Belanda tersebut telah berlangsung lama, hampir 50 tahun dan berganti-ganti masa pemerintahan sejak zaman Presiden Soekarno.
Dengan harapan KUHP yang dihasilkan oleh bangsa dan pemerintah sendiri akan menghasilkan KUHP yang lebih baik dibanding produk penjajah Belanda, dan ini menjadi dilema.
Kasus Roy Suryo
Fakta ini terlihat dari kasus yang menjerat Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) dan mantan politisi Partai Demokrat.
Roy Suryo didakwa dengan dakwaan berlapis. Pasal 28 UU ITE Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pertama, Roy Suryo dianggap menyebarkan informasi yang tidak benar terkait rencana kenaikan harga ticket Candi Borobudur,
Kedua, dianggap telah melukai perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Ketiga, dianggap menyiarkan kabar tidak pasti atau berlebihan atau yang tidak lengkap yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.
Roy Suryo di persidangan, mengungkapkan bahwa asal mula Tweet yang dia unggah menggunakan Fitur “Multi Quote Tweet” melalui akun pribadinya pada 10 Juni 2022 lalu.
Tweet itu kata dia, tidak bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu maupun kejahatan berbau sara.
Tujuannya dengan semangat urun rembug dalam bentuk kritik kepada pemerintah dan satire kepada netizen pembuat meme.
Disamping itu unggahan tersebut diniatkan untuk membantu menyuarakan keresahan masyarakat, termasuk umat Budha terkait rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobudur.
Bahwa upaya kriminalisasi terhadap para pengkritik kebijakan pemerintah tersebut. Jika terus dilakukan, maka akan dapat menggerus kedudukan negara kita sebagai sebuah negara demokrasi.
Kasus Ferdy Sambo
Peristiwa penembakan yang berakibat meninggalnya ajudan mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, almarhum Nofriansyah Yoshua Hutabarat, dikenal dengan sebutan Brigadir Yoshua.
Dalam peristiwa tersebut yang diduga pelakunya yang dijadikan tersangka oleh Penyidik Bareskrim Polri dengan dakwaan Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dilanjutkan sebagai terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka adalah Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Maaruf (supir keluarga Ferdy Sambo).
Dalam penanganan peristiwa terbunuhnya Brigadir Yoshua ini juga berakibat disidangkannya secara kode etik beberapa personil polisi staf di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri dan Penyidik di Polres Jakarta Selatan.
Ini karena mereka diduga tidak menangani perkara terbunuhnya almarhum Yoshua tersebut secara tidak professional.
Bahkan juga ada beberapa staf Propam yang didakwa melakukan “obstruction of justice”, atau penghalangan proses keadilan yang saat ini perkaranya secara bersamaan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baik Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI) maupun banyak pengamat hukum menilai, penanganan perkara kematian almarhum Brigadir Yoshua ini oleh pihak Polri menjadi ujian berat bagi Instansi Polri sebagai penegak hukum.
“Ini disebabkan begitu lamanya penanganan perkara yang melibatkan perwira Polri berbintang dua ini, namun dilakukan secara tidak benar,”kata Humas DPP KAI, Advokat Nur Aliem Halvaima, SH, MH.
Pihak Polri dapat juga menyelesaikan penyidikan perkara tersebut secara professional walaupun telat.
Sekarang proses perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah mendekati proses akhir, yang diperkirakan pada akhir bulan Januari tahun 2023 majelis hakim sudah membacakan putusannya.
Perhatian publik atas perkara terbunuhnya almarhum Yoshua ini sangat tinggi sekali, kita tidak bisa menghindari opini publik terhadap masing-masing terdakwa sesuai dengan kaca mata dan keawaman masing-masing publik menilainya.
Dalam konteks ini, apapun penilaian publik terhadap perkara ini, yang perlu dijaga adalah obyektivitas majelis hakim dalam memeriksa perkara ini.
Majelis hakim harus berpatokan pada bukti-bukti yang terungkap dalam fakta persidangan, bukan opini yang berkembang di luar persidangan.
UU KUHP Dan Pemilu
Berdasarkan catatan hukum akhir tahun 2022 yang dikemukakan tersebut di atas, DPP KAI berharap agar pembentukan hukum harus dikaji dengan maksimal memenuhi nilai-nilai jiwa (volksgeist) bangsa dan memenuhi landasan pembentukan undang-undang (UU).
Baik landasan filosofis, sosiologis dan yuridis sehinga pemberlakuaan UU yang baru dapat diterima masyarakat, dan kualitas penegakan hukum di masa datang berjalan dengan lebih baik.
Dalam menghadapi pemilihan umum (Pemilu) atau pesta demokrasi pada tahun 2024, menurut DPP KAI perlu dikawal dan diantisipasi mengingat pesta demokrasi pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (pemilihan presidan) sudah dekat.
“Kenapa perlu dikawal? agar terhindar dari segala bentuk kecurangan untuk mendapatkan kekuasaan,” pesan Presiden DPP KAI Erman Umar SH, didampingi Sekretaris Jenderal Heytman Jansen P.S, SH .

