SAMARINDA: Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan pemilu daerah dengan jeda 2,5 tahun.
Menurutnya, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi karena dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah menjadi 7,5 tahun, melebihi ketentuan lima tahunan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
“Kalau pemilu daerah ditunda 2,5 tahun, berarti masa jabatannya menjadi 7,5 tahun. Padahal konstitusi menyebutkan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun secara demokratis,” kata Andi Sofyan dalam konferensi pers di Kantor Perwakilan DPD RI Kalimantan Timur, Selasa, 5 Agustus 2025.
Ia menjelaskan, keputusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah awalnya bertujuan untuk mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, mengingat pada pemilu serentak sebelumnya banyak petugas yang meninggal dunia akibat kelelahan. Namun, dampak dari pemisahan tersebut harus dicermati kembali, khususnya dari sisi hukum tata negara.
Andi Sofyan menyebut bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya telah mengusulkan agar pemilu daerah dan nasional tidak lagi digelar di tahun yang sama karena faktor administratif. Usulan tersebut kemudian menjadi dasar gugatan ke MK yang menghasilkan jeda waktu 2,5 tahun antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
“Masalahnya, jeda ini tidak jelas dasarnya dan menyebabkan benturan dengan Pasal 18 UUD 1945. Konstitusi jelas menyebut lima tahun, bukan 7,5 tahun,” tegasnya.
Meski mengakui bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat, Andi berharap DPR RI sebagai pihak yang memiliki kewenangan legislasi dapat merespons dengan cermat. Ia menyarankan agar dalam revisi UU Pemilu ke depan, disisipkan ketentuan bahwa skema pemilu berbeda tahun ini hanya berlaku satu kali, sebagai pengecualian karena adanya putusan MK.
“Kita harap DPR RI bisa cari solusi terbaik. Misalnya, dalam undang-undang nanti dinyatakan bahwa ini hanya berlaku satu kali akibat keputusan MK,” ujarnya.
Selain itu, Andi Sofyan menyampaikan bahwa Komite I DPD RI juga tengah menjaring aspirasi masyarakat terkait mekanisme pemilihan kepala daerah, apakah akan tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dikembalikan melalui DPRD. Wacana pengembalian pilkada ke DPRD mencuat karena kekhawatiran meningkatnya praktik politik uang dalam sistem pemilihan langsung.
“Banyak masyarakat, termasuk ormas besar seperti Muhammadiyah, sudah menyatakan sikap bahwa lebih baik pilkada dikembalikan dulu ke DPRD sementara, sambil kita benahi dulu sistem dan pendidikan politik masyarakat,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa persoalan sistem pemilu, baik menyangkut jadwal maupun mekanisme pemilihan kepala daerah, harus dikaji menyeluruh. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara efisiensi penyelenggaraan pemilu, kepastian hukum, serta kualitas demokrasi.
Isu penting lainnya yang dibahas adalah rencana revisi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Andi Sofyan, semangat otonomi daerah yang dulu diperjuangkan pasca-reformasi semakin tergerus.
“Di masa Orde Baru, semuanya serba sentralistik. Sumber daya dari daerah seperti tambang dan migas disedot ke pusat, hanya menetes sedikit ke daerah,” ujar mantan Wali Kota Bontang ini.
“Reformasi 1999 hadir sebagai jawaban dengan semangat otonomi seluas-luasnya, tapi kini malah ditarik lagi secara perlahan,” tambahnya.
Andi mengkritisi bahwa banyak kewenangan yang sebelumnya berada di provinsi kini dialihkan ke pusat. Bahkan, urusan tambang yang dulu bisa dikelola di tingkat daerah kini telah sepenuhnya diambil alih pemerintah pusat, menimbulkan ketimpangan dan ketidakberdayaan di tingkat lokal.
Untuk itu, Komite I DPD RI tengah menyiapkan langkah konsultatif dengan organisasi daerah seperti APKASI dan APEKSI guna merumuskan arah revisi yang tepat. “Jangan sampai hanya DPD yang bersuara. Kita ingin tahu juga, apa sih sebenarnya yang diinginkan para kepala daerah?” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Andi juga menyinggung sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) lain yang tengah digodok oleh Komite I DPD RI. Di antaranya, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat serta RUU tentang Daerah Kepulauan.
Kedua RUU ini dinilai penting untuk mendorong keadilan dan pemerataan pembangunan, khususnya di wilayah-wilayah terluar dan komunitas adat yang selama ini terpinggirkan dalam skema pembangunan nasional.
“Kita tidak akan bicara terlalu jauh dulu. Tapi ini semua sedang kami godok dan siapkan bersama para pihak,” pungkasnya.

