JAKARTA: Pemerintah terus mendorong upaya integrasi moda transportasi sebagai langkah strategis untuk meringankan beban biaya transportasi masyarakat, baik di kawasan perkotaan maupun wilayah terpencil.
Hal ini juga sekaligus menjadi bagian dari pengembangan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam konferensi pers Forum Wartawan Perhubungan (Forwahub) di Kementerian Perhubungan, Selasa, 5 Agustus 2025, Direktur Prasarana Integrasi Transportasi Antarmoda, Sigit Irfansyah, menjelaskan bahwa pihaknya sedang merintis integrasi moda transportasi di titik-titik strategis, seperti pelabuhan dan bandara.
Salah satu contoh konkret, kata Sigit, adalah upaya menghadirkan layanan TransJakarta di dalam kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Kami sudah berdiskusi dengan Pelindo dan TransJakarta. Dalam waktu dekat, bus TransJakarta akan mulai masuk ke kawasan pelabuhan, khususnya di area penumpang. Saat ini sedang dilakukan survei lokasi pemberhentian,” ujar Sigit, Rabu, 6 Agustus 2025.
Menurutnya, akses menuju dan keluar dari pelabuhan, khususnya dermaga penumpang, selama ini cukup memberatkan masyarakat karena tingginya biaya transportasi.
Kehadiran TransJakarta diyakini dapat mengurangi beban itu sekaligus mengurangi kemacetan di dalam kawasan pelabuhan.
Selain untuk penumpang kapal, trayek ini juga ditujukan bagi pekerja yang beraktivitas di kawasan pelabuhan.
“Banyak pekerja di pelabuhan yang butuh akses murah ke titik-titik kerja mereka. Ini salah satu solusi,” tambah Sigit.
Upaya serupa juga direncanakan untuk kawasan bandara. Meski bukan untuk melayani penumpang pesawat, layanan TransJakarta diharapkan dapat membantu mobilitas karyawan dan petugas bandara dengan tarif yang lebih terjangkau dibanding layanan Damri.
Sigit menegaskan bahwa program integrasi ini tidak memerlukan investasi besar, melainkan lebih menekankan pentingnya koordinasi dan komunikasi lintas pihak, termasuk operator swasta, otoritas pelabuhan, otoritas bandara, serta pemerintah daerah.
“Kita mulai dari yang ringan dulu. Komunikasi dengan stakeholder jadi kunci utama. Kalau mereka bersedia, implementasinya tidak terlalu sulit,” tegasnya.
Ia juga mencontohkan kebutuhan integrasi fisik antar moda transportasi, seperti di Stasiun Gambir yang memiliki dua halte TransJakarta, tetapi akses antar shelter masih tidak langsung.
“Kadang cukup dengan membuka pagar, akses langsung bisa terhubung. Tapi hal seperti itu perlu kesepakatan semua pihak,” jelasnya.
Selain Jabodetabek, inisiatif integrasi juga mulai dijajaki untuk Kota Bandung.
Mengingat saat ini Bandung masuk dalam daftar 12 kota termacet di dunia, pemerintah melihat peluang besar untuk menerapkan integrasi moda transportasi sebagai solusi mobilitas.
Namun demikian, Sigit mengakui bahwa untuk kota-kota di luar Jakarta, pembahasan masih dalam tahap awal.
“Kami sedang mengumpulkan data dari berbagai subsektor. Nantinya akan dirangkum sebagai dasar tindak lanjut tahun depan,” tutupnya.

