
SAMARINDA: DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) mendesak pemerintah pusat segera menyelesaikan tujuh sengketa batas wilayah antarkabupaten dan antarprovinsi yang hingga kini belum tuntas. Ketidakjelasan status hukum tapal batas dinilai menghambat pembangunan, pelayanan publik, dan berpotensi memicu konflik sosial di sejumlah daerah.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, mengatakan lambannya penanganan persoalan batas administratif tidak bisa terus dibiarkan. Ia menegaskan bahwa masyarakat di wilayah terdampak justru menjadi pihak paling dirugikan akibat ketidakpastian hukum dan pelayanan dasar yang terhambat.
“Sejumlah sengketa batas memang sudah ada yang masuk jalur hukum, ada pula yang masih dalam proses koordinasi dengan kementerian. Tapi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat yang dirugikan,” ujar Salehuddin usai Rapat Paripurna di Gedung DPRD Kaltim, Senin, 28 Juli 2025.
Dalam rapat tersebut, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah (POD) Provinsi Kaltim memaparkan tujuh titik batas wilayah yang masih bermasalah, yaitu: Paser dengan Penajam Paser Utara (PPU), PPU dengan Kutai Barat (Kubar), Kubar dengan Mahakam Ulu (Mahulu), Kutai Timur dengan Berau, Kubar dengan Kutai Kartanegara (Kukar), Mahulu (Kaltim) dengan Murung Raya (Kalteng), Paser dengan Barito Selatan (Kalteng) dan Kubar dengan Barito (Kalteng).
Menurut Salehuddin, ketidaktuntasan persoalan batas ini bukan hanya menyulitkan pengelolaan anggaran, tetapi juga menghambat pelaksanaan program pemerintah daerah. Beberapa proyek infrastruktur terhambat karena ketidakjelasan batas, sementara alokasi dana desa, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan sering kali tertunda karena status wilayah tidak jelas.
“Ketika batas tidak tuntas, efeknya langsung terasa. Anggaran bisa tersendat, program pembangunan sulit dijalankan, bahkan layanan dasar ke masyarakat bisa tidak sampai,” ujarnya.
Dampak lainnya, kata Salehuddin, adalah potensi munculnya konflik sosial antarwarga. Dalam beberapa kasus, masyarakat dari dua wilayah yang bersengketa saling mengklaim dan menolak kewenangan pemerintahan daerah tertentu, yang berujung pada ketegangan di tingkat akar rumput.
“Jika dibiarkan, masyarakat bisa kehilangan hak layanan, atau malah jadi korban konflik karena tidak jelas dia tinggal di wilayah mana,” katanya.
Ia menyebut pentingnya kepastian batas wilayah tidak hanya untuk tertib pemerintahan, tetapi juga sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sosial dan memperkuat keadilan pembangunan.
Komisi I DPRD Kaltim, lanjut Salehuddin, menyatakan siap memfasilitasi penyelesaian sengketa batas melalui koordinasi dan dialog antarwilayah. Namun, ia menekankan bahwa penyelesaian akhir sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
“Kami berharap Pemprov bisa menjadi koordinator utama untuk mengonsolidasikan berbagai kepentingan. Tapi tetap, penyelesaian akhir ada di tangan pemerintah pusat,” ucapnya.
Salehuddin mendesak agar penyelesaian tapal batas dimasukkan dalam agenda prioritas nasional, seiring dengan meningkatnya intensitas pembangunan dan mobilitas penduduk, terutama di wilayah sekitar Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Pemerintah pusat harus segera turun tangan. Jangan tunggu masalah meledak di bawah,” ujarnya.
DPRD Kaltim berharap langkah konkret segera dilakukan, termasuk pemetaan ulang, mediasi antardaerah, serta penetapan batas resmi melalui peraturan pemerintah. Hal ini diyakini akan memperkuat struktur pemerintahan, menjamin hak-hak warga, dan mempercepat pembangunan daerah.

